Monday 6 September 2010

It's unpredictable, unexpected and unreliable

Seperti biasa, ketika pagi sudah menjelang, pancaran sinar matahari sudah menyengat, langsung ku ayunkan langkah menuju kantor tempat aku magang. Tak terasa sudah 45 hari aku menjalani kehidupan di negeri mata sipit, banyak yang dilalui dan banyak pula yang ingin diceritakan.

Hari ini ada perasaan yang sebenarnya tak ingin aku alami. Namun, mau tidak mau karena kawanku menciptakan perasaan itu di FB ku. Kawanku menyebutnya Bang Thoyib, si ayah yang tak pulang-pulang walaupun sudah 3 kali puasa dan lebaran. Perasaan sedihnya merayakan lebaran di kampung orang. Sebenarnya bukan hal yang sangat besar ataupun permasalahan yang begitu menghadang, mungkin karena hanya naluri seorang anak yang selalu merayakan lebaran di kampung dengan menyantap lontong, peyek dan beberapa makanan khas lainnya yang segaja dibuat ibuku khusus di setiap lebaran. Sampai-sampai kue lebaran yang seharusnya disuguhkan kepada tamu-tamu yang ingin bersilaturrahmi, stiap pagi petang dan malam aku dan abangku habiskan sambil nonton tv di hari lebaran. Perasaan inilah yang membuat diriku di pagi ini terasa sangat berat untuk berinteraksi dengan Mediawiki atau terminal di komputerku, jari ini terus menetap di halaman Facebook melihat komen2 atau berita-berita yang kadang tak penting serta sambil mendengarkan lagu di hpku.

Rasanya tidak percaya, tak terduga dan tak terkira menghabiskan lebaran di kampung orang, lebih parah lagi kalau lebaran tahun ini hari kamis, wah... bisa-bisa lebaran di kantor bersama terminal dan mediawiki, sudo apt-get.. ls..cd.. clear.. exit.. ssh.. svn... itulah semua kawan-kawan lebaranku. Tapi mungkin aku akan meminta izin kepada Mr. Marr untuk tidak masuk kantor atau masuk telat karena harus ke mesjid pagi-pagi. Ya Allah mudahkanlah..

Tapi setelah jam istirahat tiba, setelah diri ini menunaikan ibadah zuhur serta setelah berchatting ria, semangat itu muncul kembali, langsung aku tuliskan kisah ini sebagai pelega hati dan menyalurkan hobby. Ketikan jari ini pun dibarengi senyum merekah di pipi, terlintas dipikiranku tugas-tugas yang belum terselesaikan, kuliah yang sudah berjalan, serta mimpi yang belum terselesaikan, aku siap berdiri untuk tantangan selanjutnya. Semoga Allah menyiapkan diri ini untuk menjadi orang yang besar, yang siap berdiri tegar menyapu stiap tantangan kecil maupun besar.

Wahai hati tegarlah berdiri, ikhlaskan niat beribadah kepada Ilahi,

wahai iman kokohkan pondasi, jaga diri ini dari nikmat sesat duniawi

wahai pikiran positifkan diri, jangan buruk sangka sibuklah perbaiki diri...

Wednesday 1 September 2010

Tidak harus..

Tidak semua manusia sanggup untuk menjalani semua tantangan yang ada, bahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sayangnya banyak dari kita yang berambisius untuk mencapai tujuan tertentu namun tidak sanggup untuk melewati tantangan yang menghadang.

Kisah singkat yang aku baca di facebook menceritakan bahwa ada seorang mahasiswi yang melanjutkan studi ke luar negeri yang jauh dari tanah airnya, benua eropa. namun karena negeri tersebut mempunyai adat dan gaya yang berbeda dengan negeri asalnya, kewajiban yang ia jalani selama ini pun terasa susah untuk dijalankan. Mahasiswi muslim yang berjelbab ini merasa susah untuk menutupi kepalanya ketika sedang berjalan di tengah kota di eropa, apalagi kalau musim panas. “masak panas-panas gini pake baju serba tertutup” begitulah mungkin kira-kira komentar penduduk eropa yang membuat mahasiswi ini berubah pikirannya untuk memakai selendang saja atau bahkan tidak memakai penutup kepala.

Jika hanya untuk mimpi dunia semata, atau biar dipandang terpelajar, keren, wah oleh orang sekeliling kita karena melanjutkan studi ke luar negeri dan akibatnya harus melepaskan idealisme bahkan menggadaikan agama, semuanya menjadi hal yang tidak berguna. Paling cuman hanya 5 tahun belajar di luar negeri kemudian kembali lagi, atau bahkan menetap selama 30 tahun kemudian pasti meninggal. Dan semuanya harus dipertanggung jawabkan.

Juga tidak harus kita mengalami penderitaan yang begitu berat, yang sebenarnya tak sanggup untuk dijalani, namun dengan tujuan menunjukkan ketegaran sehingga penderitaanpun dijalani dengan muka tersenyum tapi hati menangis teriris, sampai-sampai kesehatanpun terabaikan. Padahal tak ada tawar-menawar dalam hal agama, prinsip dan kesehatan. Semuanya menjadi identitas kepribadian.

Pernah dosen kawanku di jogja curhat kepada muridnya, “saya mengambil pendidikan di UGM sampai S3, ngapain jauh-jauh keluar negeri, nyaman sekali tinggal di jogja ini”. Sampai-sampai kawanku berkeinginan kembali ke jogja walaupun kampungnya di palembang, karena memang sangat nyaman, penduduk yang ramah, makanan yang sedap pokoknya zona nyamanlah. Bukankah itu lebih baik daripada harus bersusah-susah banting stir ke negeri orang.

Namun, ada satu pesan yang menggugah dari dosenku “lebih bagus kita keluar dari comfort zone, sehingga potensi kita akan meledak dan pengetahuan kita akan lebih luas”, bagi yang suka tantangan dan tidak menginginkan hidup biasa-biasa saja, mari berpetualang. Namun kalau memang batin dan raga ini tidak siap, jangan sungkan-sungkan untuk mundur, karena “ketika satu pintu tertutup, maka akan ada 1000 pintu lainnya yang akan dibukakan, sayangnya kita terpaku pada pintu yang tertutup sehingga tidak melihat pintu yang dibukakan untuk kita “ Keep Struggle Bro..

Monday 23 August 2010

Catatan Aktivis muda Indonesia

Banyak yang mengatakan, menjelaskan dan meyakinkan bahwa menjadi aktifis sangat banyak manfaatnya bahkan semua dosen di fakultasku mulai dari dekan sampai ketua jurusan merekomendasikan untuk menjadi aktifis.
Setelah menjalani 3 tahun menjadi organisator yaitu tempat bernaungnya aktifis, terlalu banyak pendidikan yang diberikan dan hikmah yang didapat. Sebagianya telah tertulis pada artikel sebelumnya. Melalui tulisan ini, diri ini hanya ingin memberikan saran yang bermanfaat kepada pembaca sekalian, khususnya bagi adik-adikku yang sedang menempa dirinya di organisasi atau kepada mahasiswa baru yang sebentar lagi akan masuk ke dalam sarangnya akademisi.
Menjadi pribadi, mahasiswa atau aktifis hendaknya memiliki criteria berikut :
Pertama, Iman dan Taqwa. Imtaq ini lah yang menjadi identitas kita, warna kita dan kepribadian kita yang utuh. Pengalamanku sudah membuktikan bahwa semua orang menghargai keimanan yang kita pegang, pada saat di jepang, profku mengizinkan kami untuk permisi untuk shalat di mesjid sekitar kampus, bahkan ia menyediakan kepada kami sebuah tempat untuk masak dan berbuka puasa, karena pada saat itu ramadhan sedang menjelang. Sekarang juga, para peneliti di Academia Sinica juga respect terhadap ibadah yang kami lakukan. Mereka menyediakan tempat untuk shalat, kemarin tempat shalatku diganti ke pustaka karena mereka mengira pustaka lebih nyaman untuk shalat dibandingkan tempat yang lain. Tapi tadi aku meminta agar kami bisa shalat di lantai 6 karena tempatnya lebih nyaman karena di ujung dan mereka menyetujuinya serta memberitahukan kepada professor yang ada di lantai 6 bahwa kami akan shalat 2 kali di tempat tersebut.
Salah satu dosen favoritku di jurusan fisika pernah bercerita saat aku melapor bahwa kami akan ke Taiwan untuk magang. “sewaktu saya di itali, saya minta izin ke professor saya untuk shalat jum’at di roma, karena jarak roma ke kantor saya jauh, jadi saya sampaikan ke prof saya bahwa pada hari jum’at saya hanya bisa masuk kantor ½ hari, jika anda memerlukan saya maka saya akan masuk kantor pada hari sabtu” hanya itu yang disampaikan dosenku kepada profnya, dan profnya setuju, hasilnya sekarang dosen ku ditawarkan postdoc lagi ke perancis, sesuatu yang patut di tiru.
Memang kita harus membaur kepada siapapun, tetapi ingat membaur bukan berarti melebur, warna kita harus tetap jelas walaupun di kelilingi orang-orang dengan berbagai macam kepercayaan atau bahkan tidak memiliki sama sekali.

Kedua, English. Sesuatu yang sangat sering diucapkan oleh anak-anak kampus. Walaupun ada yang menyatakan bahasa arab lebih banyak manfaat. Memang betul, bahasa arab adalah ibunya segala bahasa. Tapi posisi kita sekarang dibawah kawan-kawan kita, dosen saya banyak yang berkata “we have to be educated people”. Negeri kita belum maju dalam hal ilmu pengetahuan apalagi science, tugas kita untuk membangunnya dengan menjembatani ketimpangan yang terjadi dan itu harus kita lakukan dengan meningkatkan potensi diri salah satunya kecakapan bahasa.
Bahasa juga menjadi alat untuk survive, di Negara dengan semua penduduknya menggunakan bahasa cina seperti Taiwan, sangat susah bertahan tanpa bahasa inggris. Mr. Marr pernah berpesan, jika aku tersesat maka bertanyalah kepada remaja yang ada, karena kebanyakan dari mereka bisa berbahasa inggris.

Ketiga, skills. Inilah yang menjadi modal kita agar dilirik oleh orang lain. Skill inilah yang akan kita kembangkan di negeri orang tapi tentunya kita telah memiliki kemampuan dasar. Ketua jurusanku menyebutkan skill ini adalah computer karena benda tersebutlah yang perkembanganya begitu pesat.